Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah
puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kasih dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang bertemakan “Prinsip – Prinsip
Metodologi” ini tepat pada waktunya.
Makalah
ini dimaksudkan untuk mengetahui unsur – unsur yang terkait dengan Prinsip –
Prinsip Metodologi. Adapun penjelasan-penjelasan pada makalah ini kami
ambil dari beberapa sumber buku dan website.
Kami
ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu menyelesaikan makalah
ini, akan tetapi kami juga menyadari bahwa terdapat kekurangan di dalam makalah
ini. Untuk itu dengan senang hati kami senantiasa menerima kritik dan saran
yang bersifat membangun para pembaca. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 27 November 2018
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB
I............................................................................................................ 1
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II........................................................................................................... 3
A. Pengertian Metodologi...................................................................... 3
B. Unsur-unsur Metodologi............................................ .................... 4
C. Pandangan Tentang Prinsip Metodologi.................................... 6
BAB
III......................................................................................................... 15
Kesimpulan................................................................ .................... 15
Saran........................................................................................ 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metodologi merupakan bagian epistemologi yang mengkaji prihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Metodologi juga dapat dipandang sebagai bagian dari logika yang mengkaji kaidah penalaran yang tepat.
Pada dasarnya di dalam
ilmu pengetahuan dalam bidang dan disiplin apapun, baik ilmu sosial maupun
ilmu-ilmu alam masing-masig menggunakan metode yang sama. Jika ada perbedaan,
maka hal itu tergantung pada jenis, sifat, dan bentuk objek material dan objek
formal yang tercakup di dalamnyapendekatan (approach), sudut pandang (point
of view), ujuan, dan ruang lingkup masing-masing disiplin itu.
Manakala kita
membicarakan metodologi, maka hal yang tak kalah pentingnya adalah
asumsi-asumsi yang melatarbelakangi berbagai metode yang dipergunakan dalam
aktifitas ilmiah. Asumsi-asumsi yang dimaksud adalah pendirian atau sikap yang
akan dikembangkan para ilmuwan di dalam kegiatan ilmiah mereka. Untuk memahami
prinsip-prinsip metodologi dalam filsafat, perlu dibahas tentang pengertian
metodologi, unsur-unsur metodologi, dan beberapa pandangan tentang prinsip
metodologi dari para filsuf. Hal inilah yang melatarbelakangi penulisan makalah
ini.
B.
Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar
belakang yang telah dikemukakan, dapat dirumuskan beberapa permasalahan,
diantaranya ialah:
1. Apa pengertian dari metodologi?
2. Apa saja unsur-unsur dalam metodologi?
3. Bagaimana pandangan para filsuf tentang prinsip-prinsip metodologi?
3. Bagaimana pandangan para filsuf tentang prinsip-prinsip metodologi?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah:
1. Agar mengetahui pengertian metodologi.
2. Agar mengetahui unsur-unsur dalam metodologi.
3. Mengetahui pandangan para filsuf terhadap prinsip-prinsip metodologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metodologi
Metodologi berasal dari
kata metode dan logos. Metodologi bisa diartikan ilmu yang
membicarakan tentang metode-metode. Kata metode berasal dari bahasa yunani methodos,
sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesdah) dan kata
benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri
lalu berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah.
Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. (Anton Bakker,
1994, hlm 10).
Pengertian metode
berbeda dengan metodologi. Metode adalah suatu jalan, petunjuk pelaksanaan atau
petunjuk teknis, sehingga memiliki sifat yang praktis. Adapun metodologi
disebut juga science of methodos, yaitu ilmu yang membicarakan cara,
jalan atau petunjuk praktis dalam penelitian, sehingga metodologi penelitian
membahas konsep teoritis berbagai metode.[1][1] Dapat pula dikatakan
bahwa metodologi penelitian adalah membahas tentang dasar-dasar filsafat ilmu
dari metode penelitian, karena metodologi belum memiliki langkah-langkah
praktis, adapun derevasinya adalah pada metode penelitian. Bagi ilmu-ilmu
seperti sosiologi, antropologi, politik, komunikasi, ekonomi, hukum, serta
ilmu-ilmu kealaman, metodologi adalah merupakan dasar-dasar filsafat ilmu dari
suatu metode, atau dasar dari langkah praktis penelitian.
Metode bisa dirumuskan
suatu proses atau prosedur yang sistematikberdasarkan prinsipdan teknik ilmiah
yang dipakai oleh disiplin bidang studi untuk mencapai suatu tujuan. Adapun
metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk metode, aturan yang
harus dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan. Jika dibandingkan antara metode
dan metodologi, maka metodologi lebih bersifat umum dan metode lebih bersifat
khusus. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa metodologi bersangkutan dengan
jenis, sifat dan bentuk umum mengenai
cara-cara, aturan dan patokan prosedur jalannya penyelidikan, yang mengambarkan
bagaimana ilmu pengetahuan harus bekerja. Adapun metode adalah cara kerja dan
langkah-langkah khusus penyelidikan secara sistematik menuut metodoogi itu,
agar tercapai suatu tujuan, yaitu kebenaran ilmiah.
B. Unsur-unsur Metodologi
Unsur-unsur metodologi
sebagaimana telah dirumuskan oleh Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair dalam
buku Metodologi Penelitian Filsafat (1994)[1][2], antara lain
dijelaskan sebagai berikut.
1. Interpretasi
Artinya menafsirkan, membuat tafsiran,
tetapi yang tidak bersifat subjektif melainkan harus bertumpu pada evidensi
objektif untuk mencapai kebenaran yang autentik. Dengan interpretasi ini
diharapkan manusia dapat memperoleh pebgertian, pemahaman atau Verstehen.
Pada dasarnya interpretasi berarti tercapainya pemahaman yang benar mengenai
ekspresi manusiawi yang dipelajari.
2. Induksi dan Deduksi
Dikatakan oleh Beerling, bahwa setiap ilmu
terdapat penggunaan metode induksi dan deduksi, menurut pengertian siklus
empiris. Siklus empiris meliputi beberapa tahapan, yakni observasi, induksi,
deduksi, kajian ( eksperimentasi ) dan evaluasi. Tahapan itu pada dasarnya
tidak berlaku secara berturut-turut, melainkan terjadi sekaligus. Akan tetapi,
siklus ini diberi bentuk tersendiri dalam penelitian filsafat, berhubungan
dengan sifat-sifat objek formal yang istimewa, yaitu manusia.
3. Koherensi Intern
Yaitu
usaha untuk memahami secara benar guna memperoleh hakikat dengan menunjukkan
semua unsur structural di lihat dalam suatu struktur yang konsisten, sehingga
benar-benar merupakan internal structure
atau internal relation. Walaupun mungkin
terdapat semacam oposisi di antaranya, tetapi unsur- unsur itu tidak
boleh bertentangan satu sama lain. Dengan demikian akan terjadi suatu lingkaran
pemahaman antara hakikat menurut keseluruhannya dari satu pihak dan
unsur-unsurnya di pihak lain.
4. Holistis
Yaitu tinjauan secara lebih dalam untuk
mencapai kebenaran secara utuh, dimana objek dilihat dari interaksi dengan seluruh
kenyataannya. Identitas objek akan terlihat bila ada korelasi dan komunikasi
dengan lingkungannya. Objek (manusia) hanya dapat dipahami dengan mengamati
seluruh kenyataan dalam hubungannya dengan manusia, dan manusia sendiri dalam
hubungannya dengan segalanya yang mencakup hubungan aksi-reaksi sesuai dengan
tema zamannya, pandangan menyeluruh ini juga disebut totalitasi, semua
dipandang dalam kesinambungannya dalam satu totalitas.
5. Kesinambungan Historis
Jika ditinjau dari perkembangannya, manusia
itu adalah makhluk historis. Manusia
disebut demikian karena ia berkembang dalam pengalaman dan pikiran, bersama
dengan lingkungan dan zamannya. Masing-masing orang bergumul dalam relasi
dengan dunianya untuk membentuk nasib sekaligus nasibnya dibentuk oleh mereka.
Dalam perkembangan pribadi itu harus dapat dipahami melalui suatu proses
kesinambungan. Rangkaian kegiatan dan peristiwa dalam kehidupan setiap orang
merupakan mata rantai yang tidak terputus. Yang baru masih berlandaskan yang
dahulu, tetapi yang lama juga mendapat arti dan relevansi baru dalam
perkembangan yang lebih kemudian. Justru dalam hubungan mata rantai itulah
harkat manusia yang unik dapat diselami.
6. Idealisasi
Idealisasi merupakan proses untuk membuat
ideal, artinya upaya dalam penelitian untuk memperoleh hsil yang ideal atau
sempurna.
7. Komparasi
Komparasi adalah usaha memperbandingkan sifat hakiki dalam objek penelitian sehingga dapat menjadi lebih jelas dan lebih tajam. Justru perbandingan itu dapat menentukan secara tegas kesamaan dan perbedaan sesuatu sehingga hakikat objek dapat dipahami dengan semakin murni. Komparasi dapat diadakan dengan objek lain yang sangat dekat dan serupa dengan objek utama. Dengan perbandingan itu, meminimalkan perbedaan yang masih ada, banyak ditemukan kategori dan sifat yang berlaku bagi jenis yang bersangkutan. Komparasi juga dapat diadakan dengan objek lain yang sangat berbeda dan jauh dari objek utama. Dalam perbandingan itu dimaksimalkan perbedaan-perbedaan yang berlaku untuk dua objek, namun sekaligus dapat ditemukan beberapa persamaan yang mungkin sangat strategis.
Komparasi adalah usaha memperbandingkan sifat hakiki dalam objek penelitian sehingga dapat menjadi lebih jelas dan lebih tajam. Justru perbandingan itu dapat menentukan secara tegas kesamaan dan perbedaan sesuatu sehingga hakikat objek dapat dipahami dengan semakin murni. Komparasi dapat diadakan dengan objek lain yang sangat dekat dan serupa dengan objek utama. Dengan perbandingan itu, meminimalkan perbedaan yang masih ada, banyak ditemukan kategori dan sifat yang berlaku bagi jenis yang bersangkutan. Komparasi juga dapat diadakan dengan objek lain yang sangat berbeda dan jauh dari objek utama. Dalam perbandingan itu dimaksimalkan perbedaan-perbedaan yang berlaku untuk dua objek, namun sekaligus dapat ditemukan beberapa persamaan yang mungkin sangat strategis.
8. Heuristika
Adalah metode untuk menemukan jalan baru
secara ilmiah untuk memecahkan masalah. Heuristika benar-benar dapat mengatur
terjadinya pembaharuan ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat memberikan kaidah
yang mengaacu.
9.
Analogikal
Adalah filsafat meneliti arti, nilai dan
maksud yang diekspresikan dalam fakta dan data. Dengan demikian, akan dilihat
analogi antara situasi atau kasus yang lebih terbatas dengan yang lebih luas.
10.
Deskripsi
Seluruh hasil penelitian harus dapat
dideskripsikan. Data yang dieksplisitkan memungkinkan dapat dipahami secara
mantap.
C.
Pandangan Tentang Prinsip Metodologi
1.
Rene Descartes
Rene Descartes mengusulkan suatu metode umum yang
memiliki kebenaran yang pasti. Dalam karyanya termasyhur Discourse on Method, risalah tentang metode, diajukan enam bagian penting,yaitu
a. Membicarakan
masalah ilmu-ilmu yang diawali dengan menyebutkan akal sehat (common sense) yang pada umumnya dimiliki
semua orang. Menurut Descartes, akal sehat ada yang kurang, ada pula yang lebih
banyak memilikinya, namun yang terpenting adalah penerapannya dalam aktivitas
ilmiah. Metode yang ia coba temukan merupakan upaya untuk mengarahkan nalarnya sendiri secara optimal. Filsafat
bagi Descartes rancu dengan gagasan yang acap kali saling bertentangan, oleh
karena itu perlu dibenahi. Satu hal yang diperlukan dalam menuntut ilmu ialah
melepaskan diri dari cengkraman otoritas kaum guru atau dosen, mengerahkan diri
untuk belajar dari “buku alam raya” dan mempelajari dirinya sendiri.
b. Menjelaskan
kaidah-kaidah pokok tentang metode yang akan dipergunakan dalam aktivitas
ilmiah. Bagi Descartes sesuatu yang dikerjakan oleh satu orang lebih sempurna
dari pada yang dikerjakan oleh sekelompok orang secara patungan. Descartes
mengajukan empat langkah atau aturan yang dapat mendukung metode yang dimaksud
sebagai berikut (dalam Rizal Mustansyir,dkk.,2001).
1)
Janganlah pernah menerima baik apa saja
sebagai benar, jika Anda tidak mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai
kebenarannya. Artinya, dengan cermat hindari kesimpulan-kesimpulan dan
prakonsepsi yang terburu-buru, dan janganlah memasukkan apapun ke dalam
pertimbangan Anda lebih dari pada yang terpapar dengan begitu jelas, sehingga
tidak perlu diragukan lagi.
2)
Pecahkanlah tiap kesulitan Anda menjadi
sebanyak mungkin bagian dan sebanyak yang dapat dilakukan untuk mempermudah
penyelesaiannya secara lebih baik.
3)
Arahkan pemikiran Anda secar tertib, mulai
dari objek yang paling sederhana dan paling mudah diketahui, lalu meningkat
sedikit demi sedikit, ke pengetahuan yang paling kompleks, dan dengan
mengandaikan sesuatu urutan bahkan di antara objek yang sebelum itu tidak
mempunyai ketertiban kodrati.
4)
Buatlah penomoran untuk seluruh
permasalahan selengkap mungkin, dan tinjauan ulang secara menyeluruh sehingga
Anda dapat merasa pasti tidak sesuatupun yang ketinggalan.
Langkah yang dikemukakan Descartes ini menggambarkan
suatu
sikap skeptis-metodis dalam upaya memperoleh kebenaran
yang
pasti.
c. Menyebutkan beberapa
kaidah moral yang menjadi landasan bagi penerapan metode sebagai berikut:
1)
Mematuhi undang-undang dan adat istiadat
negeri, sambil berpegang pada agama yang diajarkan sejak masa kanak-kanak.
2)
Bertindak tegas dan mantap, baik pada
pendapat yang paling meyakinkan maupun yang paling meragukan.
3)
Berusaha lebih mengubah diri sendiri
daripada merombak tatanan dunia.
d. Menegaskan pengabdian
pada kebenaran yang acapkali terkecoh oleh indra. Ujar Descartes, kita dapat
saja meragukan segala sesuatu, namun kita tidak mungkin meragukan kita sendiri
yang sedang dalam keadaan ragu-ragu.
e. Menegaskan perihal
dualisme dalam diri manusia, yang terdiri atas dua substansi, yaitu res cogitans (jiwa bernalar), dan res extensa (jasmani yang meluas). Tubuh
(res extensa) diibaratkan dengan mesin, yang tentunya karena ciptaan
Tuhan maka tertata lebih baik.
f. Dua jenis pegetahuan, yaitu pengetahuan
spekulatif dan pengetahuan praktis. Pengetahuan praktis terkait dengan
objek-objek konkret seperti air, api, udara, planet, dan lain-lain. Sedang
pengetahuan spekulatif menyangkut hal-hal yang bersifat filosofis. Berkat kedua
pengetahuan inilah manusia menjadi penguasa alam.
2.
Alfred Jules Ayer
Pemikiran
Ayer termuat dalam bukunya yang berjudul Language, Truth and Logic tersebut.
Ajaran terpenting yang terkait dengan masalah metodologis adalah prinsip
verifikasi.Pada mulanya perbincangan mengenai prinsip verifikasi ini mengacu
pada metode ilmiah yang diterapkan dalam bidang Fisika Modern, atau kritik
terhadap metode Fisika Klasik Isaac Newton. Teori Relativitas
Einstein yang termasyhur itu telah memperlihatkan secara jelas bahwa konsep
“Rang dan waktu yang absolut” dari Fisika Klasik yang diajukan oleh Newton,
hanya bermakna manakala seseorang dapat merinci apakah pelaksanaan terhadap
percobaan yang dilakukan itu dapat ditasdikan. Kritik yang dilancarkan Einstein
terhadap konsep Newton itu telah menghilhami tokoh-tokoh positivisme Logik,
sperti Moritz Schlick dan Rudolf Carnapp yang pada dasarnya mempunyai
latarbelakang pendidikan sains yang cukup kat. Kemudian mereka menerapkan
prinsip verivikasi yang semula dipergunakan dalam bidang fisika itu ke dalam
teknik analisis bahasa. Cara yang demikian itu membawa perubahan yang cukup
besar terhadap tolak ukur untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu
pernyataan. Sebab bagi positivisme Logik “sesuatu yang tidak dapat diukur
(ditasdikan) itu tidak mempunyai makna”. Dengan demikian makna sebuah proposisi
tergantung apakah kita dapat melakukan verifikasi terhadap proporsi yang
bersangkutan. Kendati tokoh
Positivisme Logik secara umum menerima prinsip verifikasi itu sebagai tolak
ukur untuk menentukan konsep tentang makna, namun mereka membuat rincian yang
cukup berbeda mengenai prinsip verifikasi itu sendiri. Tokoh pemula Positivisme
Logik, seperti Moritz Schlick misalnya, menafsirkan verifikasi ini dalam
pengertian pengamatan empirik secara langsung bahwa hanya proporsisi yang
mengandung istilah yang diangkat langsung dari objek yang diamati (ini
dinamakan kalimat protokol) itulah yang benar-benar mengandung makna. Bagi
Schlick, jelas bahwa salah satu cara pengetahuan itu dimulai dengan pengamatan
peristiwa. Peristiwa semacam itu terlihat dalam kalimat protokol dan inilah
yang menjadi permulaan bagi ilmu. Akan tetapi tafsiran Scklick mengenai prinsip
verifikasi ini meimbulkan perdebatan di antara kaum Positivisme Logik itu
sendiri, terutama penganut Positivisme Logik yang muncul kemudian.
Ayer, salah seorang
penganut Positivisme Logik yang muncul kemudian, atau dapat dikatakan sebagai
generasi penerus tradisi Positivisme Logik, menyadari pula kelemahan yang
terkandung dalam prinsip pntasdikan yang diajukan Schlick itu. Oleh karena itu
Ayer memperluas prinsip verifikasi dalam pengertian berikut: “Prinsip
verifikasi itu merupakan pengandaian untuk melengkapi suatu kriteria, sehingga
melalui kriteria tersebut dapat ditentukan apakah suatu kalimat mengandung
makna atau tidak”. Melalui prinsip verifikasi ini tidak hanya kalimat yang
teruji secara empirik saja yang dapat dianggap bermakna, tetapi juga kalimat
yang dapat dianalisis. Hal ini ditegaskan Ayer dalam pernyataan berikut: “Suatu
cara yang sederhana untuk merumuskan hal itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu
kalimat mengandung makna, jika dan hanya jika proporsisi yang diungkapkan itu
dapat diananlisis atau dapat diverivikasi secara empirik”.[1][5] Penafsiran yang
diajukan Ayer terhadap prinsip verifikasi ini berhasil mengatasi kelemahan yang
terdapat dalam pandangan tokoh Positivisme Logik sebelumnya, yang hanya
menerima proporsisi yang dapat diverifikasi secara empirik. Hal mana terlihat
jelas dalam pandangan Moritz Schlick, yang mengaitkan prinsip verifikasi itu
dengan kalimat protokol, atau kalimat yang dapat diperiksa benar atau salahnya
melalui pengamatan empirik secara langsung. Menurut pandangan Ayer, prinsip
verifikasi seperti yang diajukan Schlick itu merupakan verifiable dalam
arti yang ketat (Ayer menambahkan pengertian verifiable dalam arti yang
longgar atau lunak). Kedua macam pengertian ini dijelaskan oleh Ayer adalah
sebagai berikut: “verifiable dalam arti yang ketat yaitu, sejauh kebenaran
suatu proposisi itu didukung pengalaman secara meyakinkan. Sedangkan verifiable
dalam arti yang lunak, yaitu jika suatu proporsi itu mengandung kemungkinan
bagi pengalaman atau merupakan pengalaman yang memungkinkan”.
Melaui kedua macam pengertian verifiable ini, Ayer
terutama verifiable dalam arti yang lunak telah membuka kemungkinan untuk
menerima pernyataan dalam bidang sejarah (masa lampau) dan juga prediksi ilmiah
(ramalan masa depan ) sebagai pernyataan yang mengandung makna. Ayer menampik
kehadiran metafisika dalam dunia ilmiah. Karena pernyatan-pernyataan metafisika
(termasuk, etika, theologi) merupakan pernyataan yang meaningless (tidak
bermakna) lantaran tidak dapat dilakukan verifikasi apapun.
3.
Karl Raimund Popper
Popper seorang filsuf kontemporer yang melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi
berupa sifat pembenaran (justification) terhadap
teori yang telah ada. Popper
mengajukan beberapa prinsip sebagai berikut:
a. Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori
dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi oleh
kaum posititivistik. Teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotesis, tidak ada
kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori
yang lebih tepat.
b. Cara kerja metode
induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (obeservasi) secara teliti gejala yang sedang diselidiki.
Pengamatan yang berulang-ulang itu akan memperlihatkan adanya ciri-ciri umum
yang dirumuskan menjadi hipotesis. Selanjutnya hipotesis itu dikukuhkan dengan
cara menemukan bukti-bukti empiris yang dapat mendukungnya. Hipotesis yang
berhasil dibenarkan (justifikasi) akan berubah menjadi hukum. Popper menolak
cara kerja diatas, terutama pada asas verifikasi, bahwa sebuah pernyataan itu
dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti pengamatan empiris.
Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju
manakala suatu hipotesis telah dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan
dengan hipotesis baru.
4.
Michael Polanyi
Menurut Michael Polanyi
pengembangan ilmu pengetahuan menuntut kehidupan kreatif masyarakat ilmiah yang
pada gilirannya didasarkan pada kepercayaan akan kemungkinan terungkapnya
kebenaran-kebenaran yang hingga kini masih tersembunyi. Dengan latar belakang ilmu
kedokteran, Polanyi menegaskan bahwa tugas filsafat terutama adalah membedah
penyakit-penyakit pikiran yang hanya dapat dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan mendasar terhadap setiap pandangan yang mendasari masyarakat.
Tujuan
dari metode maieutika tekhne yaitu
untuk menemukan alternative-alternatif baru bagi hidup manusia sebagai manusia
dan sebagai masyarakat. (M. Mukhtasar, 1997, hlm. 24). Kekeliruan tesis Positivisme tidak hanya pada sikapnya yang
menolak cita rasa estetis, dan nilai moral serta ikatan social, karena
menggangapnya sebagai realitas subjectif, melainkan juga pada
pandanganya bahwa sesuatu masyarakat tidak dapat dibangun atas dasar yang
berakar pada prinsip moral abstrak, tetapi berakar pada tradisi masyarakat.
Dari sudut pandang filsafat
ilmu, Polanyi menunjukkan kekeliruan mendasar Positivisme dalam merumuskan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, Polanyi menekankan betapa pentingnya penemuan (discovery)
dalam bidang ilmu pengetahuan, tidak sekedar verifikasi, yang menurut Delfgaauw
(1988), adalah penegasan atau pengakuan berdasar pengamatan empiris, terutama
tampak jelas dalam Positivisme Logis dengan penekanannya pada susunan logis
ilmiah.
Secara structural, segi
ilmu pengetahuan tidak terungkap melibatkan dua hal atau dapat disebut dua term
ilmu pengetahuan tidak terungkap. Menggunakan istilah anatomi, Polanyi menyebut
term pertama dengan term proksimal, yaitu term yang lebih dekat, dan term kedua
adalah term distai, yaitu term yang lebih jauh. Hubungan kedua term tersebut
disebut sebagai hubungan fungsional dengan rumusan; kita mengetahui term
pertama hanya dengan mengandalkan diri pada kesadaran kita tentangnya agar
memberikan perhatian pada term kedua. Polanyi meyakini fungsi komitmen personal
harus dilihat dalam konteks demikian. Semua perhatian mengenai realitas fokal
mengandung komponen-komponen yang diketahui secara subsidernya yang seolah-olah
menjadi bagian dari tubuh. Oleh karena itu berpikir tidak secara niscaya
bersifat intensional, sebagaimana dipikirkan oleh Brentano; berfikir secara
niscaya juga mengandung dimensi-dimensi yang tidak terungkap.
Jadi
Polanyi telah merintis suatu model perkembangan baru ilmu-ilmu dengan memadukan
secara jernih antara nilai dan fakta, sehingga ilmu-ilmu dikembangkan dapat
sejalan dengan perkembangan masyarakat. Objektivitas yang menjadi pokok
perhatian ilmu-ilmu, menurut Polanyi justru terletak pada segi tidak
terungkapnya ilmu-ilmu itu sehingga mutlak menggunakan objektivisme yang pada
prinsipnya akan mencerminkan objektivitasnya. Dalam
kerangka ini tampak upaya Polanyi untuk menunjukkan hakikat ilmu sebagai
realitas yang personal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metodologi disebut juga
science of methodos, yaitu ilmu yang membicarakan cara, jalan atau
petunjuk praktis dalam penelitian, sehingga metodologi penelitian membahas
konsep teoritis berbagai metode. Dapat pula dikatakan bahwa metodologi
penelitian adalah membahas tentang dasar-dasar filsafat ilmu dari metode
penelitian, karena metodologi belum memiliki langkah-langkah praktis, adapun
derevasinya adalah pada metode penelitian.
Unsur-unsur metodologi
meliputi interpretasi, induksi dan deduksi, koherensi intern, holistis,
kesinambungan historis, idealisasi, komparasi, heuristika, analogikal, dan
deskripsi.
Metodologis sangat
terkait erat dengan epistemologi, karena asumsi-asumsi yang diajukan oleh para
filsuf memasuki wilayah a priori, dugaan mendahului pengalaman. Descartes lebih
bertitik tolak pada prinsip keraguan metodis ( skeptis-metodis), Ayer memilih
prinsip verifikasi sebagai sarana untuk menguji bermakna atau tidaknya sebuah
pernyataan, Popper memandang prinsip falsifiabilitas justru dapat memperkokoh (corroboration)
sebuah hipotesa, sedangkan objektivitas yang menjadi pokok perhatian
ilmu-ilmu, menurut Polanyi justru terletak pada segi tidak terungkapnya
ilmu-ilmu itu sehingga mutlak menggunakan objektivisme yang pada prinsipnya
akan mencerminkan objektivitasnya.
B. Saran
Manakala kita
membicarakan metodologi, maka hal yang penting diketahui adalah asumsi-asumsi
yang melatarbelakangi berbagai metode yang dipergunakan dalam aktifitas ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Surajiyo. (2008). Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara
Drs. Rizal Mustansyir, M. Hum, dkk. (2004). Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar